Selasa, 02 Juli 2013

MENGAPA KORUPSI SULIT DI BERANTAS

Pertanyaan tersebut menghinggapi banyak kalangan sampai saat ini. Berbagai komentar dari  berbagai kalangan baik dari pejabat, politisi, hukum dan akademisi setiap hari menghiasi mulai dari media cetak sampai online. Akan tetapi seolah pemerintah bergeming dan pemberantasan korupsi seolah berjalan di tempat.
Apa yang salah dengan dengan sistem yang ada dan mengapa korupsi jadi sedemikian sulit diberantas. Saya berpikir ada beberapa kondisi yang menyebabkan ini masih terjadi.

1. Kepemimpinan

2. Kesejahteraan

            Kepemimpinan memegang peranan penting dalam pemberantasan korupsi. Akan tetapi kalau kita melihat para pemimpin yang pernah memimpin negara ini sepintas adalah para pemimpin yang mumpuni dan punya kualitas untuk bisa memberantas korupsi. Akan tetapi ternyata sampai hari ini dan telah melewati orde reformasi korupsi belum bisa diberantas.


            Kenapa korupsi masih terjadi dan pemberantasan korupsi seolah berjalan ditempat. Masalahnya adalah karena korupsi emang telah menjadi budaya bangsa ini. Sejak aku masih kanak-kanak aku sudah terbiasa mendengar istilah uang suap, pelicin dan uang bawah tangan dan semua sejenisnya. Kalau bikin KTP ya harus menyediakan uang tidak resmi kalau ingin urusan lancar. Sampai aku dewasa sekarang ternyata istialh tersebut belum hilang malah bertambah seperti misalnya dengan istilah dengan uang pelancar, uang jago, uang keamanan dan lain sebagainya

            Jadi secara masif semua lapisan masyarakat sudah dibiasakan dengan budaya korupsi sejak mereka masih kecil hingga dewasa. Kejadian seperti contek masal yang terjadi di Surabaya misalnya adalah  adalah semacam bibit yang disemai para pendidik secara tidak sadar yang akan menjadikan para murid nantinya menjadi pelacur terpelajar. mereka rela berbohong secara masal demi mendapatkan nilai secara tidak berhak. Nilai-nilai semacam inilah sudah mulai dipupuk sejak masih anak-anak.

            Sehingga tidak heran ketika seseorang beranjak dewasa mereka sudah tidak canggung lagi bersentuhan dengan suasana yang korup bahkan cenderung permisif dan toleran akan hal tersebut. Istilahnya korupsi dilakukan secara berjamaah, sehingga korupsi bukan lagi sesuatu yang tabu untuk dilakukan.

            Dunia yang semakin materialistis juga mendorong perilaku ingin cepat kaya instan dan malas bekerja keras. Cara yang paling gampang adalah memanfaatkna kedudukan dan jabatan untuk memperkaya diri sendiri. Orang dengan kekayaan akan dipandang sebagai orang yang sukses dan dihormati terlepas dari mana kekayaan tersebut didapat. Orang berlomba untuk mendapatkan kekayaan agar bisa memperoleh kehormatan dan kekuasaan.

            Jika dilihat para pejabat dan penguasa yang terliaht lebih kaya dari seharusnya sebagian justru terlhat sederhana. Mereka "mungkin" melakukan korupsi dan penyalahgunaan jabatannya untuk mendapatkan kekayaan yang tidak wajar. Akan tetapi kekayaan tersebut bukan untuk diri mereka sendiri. Akan tetapi untuk keluarga, istri dan anak-anaknya. Sedangkan diri mereka sendiri mungkin termasuk orang dengan pola hidup yang sederhana. akan tetapi karena lingkungna mereka yang sangat menghargai kehidupan yang meterialistis, mau tidak mau mereka juga ikut dalam arus tersebut. Paling tidak istri dan anak-anaknya masuk dalam pergaulan yang sangat menghargai meterialisme. Karena itu sangat komplek sekali jika kita ingin memberantas korupsi. Memang tidak semudah seperti membalikkan sepotong ikan di piring. Karena semua lapisan masyarakat ikut terlibat dan sistem yang ada juga mendukung praktek yang korup ini.

            Jadi kunci utama tetap ada pada sang pemimpin. Tidak ada peperangan yang dimenangkan jika tidak dipimpin oleh seorang pemimpin yang handal. Tidak juga ada bisnis yang berhasil dan sukses tanpa dipimpin oleh orang yang kompeten. Bahkan negara kita menunggu hingga 300 tahun lamanya untuk bisa lepas dari penjajahan karena memang belum ada pemimpin yang mampu untuk melepaskan negeri ini dari penjajah.

            Pertanyaannya samapai kapan hal ini akan berlangsung. Apakah kita hanya menunggu dan melihat saja tanpa melakukan sesuatu dan berharap korupsi akan pergi dengan sendirinya. Akuyakin sampai korupsi sudah mencapai titik jenuh maka akan muncul seorang pemimpin yang akan bersedia mati untuk memimpin pemberantasan korupsi ini. Kapan waktunya akan terjadi, mungkin aku sendiri yang akan memimpin negeri ini terbebas dari korupsi. Kita tunggu saja apakah mimpiku ini akan menjadi kenyataan. Tulisan ini akan menjadi saksi sejarah jika hal tersebut menjadi kenyataan di masa yang akan datang.
            Banyak faktor yang dapat menjadi masalah dalam upaya pemberantasan korupsi melalui penegakan hukum pidana. Berbagai masalah/kelemahan itu dapat dikategorikan dalam “faktor juridis” dan “faktor non-juridis.
Faktor Juridis
            Masalah atau kelemahan juridis materiel dalam UU Pemberantasan TP Korupsi, antara lain :
a.Masalah Kualifikasi Juridis dari Tindak Pidana Korupsi
·Di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, tidak ada ketentuan formal (pasal) yang menyatakan kualifikasi juridis dari tindak pidana korupsi, apakah sebagai “kejahatan” atau “pelanggaran”. Jadi berbe-da dengan UU No. 3 Tahun 1971 (UU lama) yang menyatakan secara tegas, bahwa tindak pidana korupsi merupakan “kejahatan” (Pasal 33).
            Dengan tidak adanya kualifikasi juridis, dapat timbul masalah dalam menerapkan ketentuan umum Buku I KUHP terhadap kasus-kasus korupsi, karena KUHP membedakan “ketentuan umum untuk keja-hatan” dan “ketentuan umum untuk pelanggaran”.
Masalah Penerapan Pidana Minimal Khusus
·Berbeda dengan UU yang lama (UU No. 3 Tahun 1971), di dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, ada ancaman pidana minimal khusus di dalam perumusan delik. Namun tidak disertai dengan ketentuan khu-sus untuk menerapkan/menjatuhkan pidana minimal khusus itu.
·Pencantuman pidana minimal khusus dalam perumusan delik meru-pakan suatu penyimpangan dari sistem pemidanaan induk dalam KUHP. Penyimpangan ini dapat dibenarkan, namun seharusnya di-sertai dengan aturan penerapannya secara khusus, karena :
-Suatu ancaman pidana tidak dapat begitu saja diterapkan/diope-rasionalkan hanya dengan dicantumkan dalam perumusan delik; pencantuman “ancaman pidana” hanya merupakan sub-sistem dari keseluruhan sistem pemidanaan;
-Untuk dapat diterapkan, harus ada aturan pemidanaan (straf-toemetingsregel)-nya terlebih dahulu;
-Aturan penerapan pidana yang ada selama ini diatur dalam "aturan umum" KUHP (sebagai sistem induk);
-Aturan (pemidanaan) umum dalam KUHP semuanya berorientasi pada sistem maksimal, tidak pada sistem minimal;
-Oleh karena itu, apabila UU di luar KUHP akan menyimpang dari sistem umum KUHP, maka UU di luar KUHP seharusnya mem-buat aturan (pemidanaan) khusus sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 103 KUHP.
·Tidak adanya aturan pemidanaan untuk menerapkan sistem minimal khusus itu, dapat menimbulkan masalah juridis dalam praktek.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar