Jumat, 05 Juli 2013

"Cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan."


           Senyumnya adalah bagian yang paling kuhapal. Setiap hari kunikmati senyum itu sebagai salah satu pasokan energiku. Kali ini pun tetap sama, ketika kupandangi ia yang sedang menulis sesuatu di kertasnya. Matanya sesekali mengarah padaku, ia menyimpulkan senyum itu lagi.
            Aku yang sedang menggambar sketsa wajahnya, memerhatikan setiap lekuk pahatan tangan Tuhan. Detail wajahnya tak kulewati seinci pun. Hidungnya yang tak terlalu mancung, pipi dan rahang yang tegas, dan bentuk bibirnya yang mencuri perhatian siapapun saat menatap lengkungan senyum itu. Aku penggemarnya, seseorang yang mencintainya tanpa banyak ucap, namun dengan tindakan yang nyata.
            Secara terang-terangan, aku tak pernah bilang cinta, namun selalu kutunjukkan rasa. Entah lewat sentuhan, perhatian, dan caraku membangun percakapan. Aku mencintainya. Terlalu mencintainya. Sampai-sampai aku tak sadar bahwa kedekatan kita semakin tak terkendalikan, meskipun semua singkat, tapi rasanya cinta begitu terburu-buru mengetuk pintu hatiku.
            Di sebuah taman, tempat kami biasa bertemu, tempat kami biasa melakukan hal sederhana yang begitu kami cintai. Ia menulis tentangku. Aku menggambar sosoknya. Setelah karya kami sama-sama selesai, kami saling menukar hasil jemari kami.
            Tulisannya yang indah dan gambarku yang sederhana sama-sama menyumbangkan senyum di bibirku dan bibirnya. Betapa kami sangat bahagia cukup dengan seperti. Betapa cara sederhana bisa membuat aku dan dia merasa tak butuh apa-apa lagi, selain kebersamaan dan takut akan rasa kehilangan.
            “Kamu pernah takut dengan rasa kehilangan?” ucapnya lirih di sela-sela gerakan jemarinya yang masih menulis sesuatu di kertas.
            “Pernah dan aku tak akan mau lagi merasakan perasaan itu.” jawabku secepat mungkin, jemariku masih memperbaiki gambarku yang hampir selesai. Kuperhatikan lagi bentuk wajahnya, rahang dan jambang rambutnya yang begitu kusukai. Seandainya aku punya keberanian untuk menyentuh wajah itu, selancang ketika aku menyentuh batang pensil saatku menggambar.
            “Kalau kausudah berusaha begitu kuat, namun kautetap bertemu pada rasa kehilangan, apa yang akan kaulakukan?”
            Kubiarkan pertanyaannya menggantung di udara sesaat. Kuberi jeda waktu agar ia masih bertanya-tanya pada rasa penasaran dalam hatinya. Semilir angin dan goresan pensilku di kertas lebih terdengar jelas dalam keheningan kami berdua.
            “Apa yang akan aku lakukan?” aku mengulang pertanyaan darinya, semakin membangun rasa penasarannya yang membesar.
            Kening pria itu mengkerut ketika pertanyaannya kuulang, “Iya, apa yang akan kaulakukan jika rasa kehilangan tiba-tiba menyergapmu meskipun kamu sudah berusaha keras untuk menggenggam?”
            Helaan napasku terdengar santai, “Aku akan selalu bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku harus merasakan kehilangan. Setelah aku tahu jawabannya, demi apapun, aku tak akan mengulang kesalahanku lagi. Dan, aku akan semakin memaknai pertemuan sebagai hal yang tak boleh disia-siakan.”
            Jawabanku membuat ia semakin tajam menatap wajahku, aku yang menunduk dan masih menggambar, jadi salah tingkah ditatap dengan tatapan seperti itu. Ia arahkan jemarinya ke atas kepalaku dan membelai rambutku. Aku tak tahu maksud dari sentuhan itu, entah mengapa seketika tubuhku tak bisa memberi banyak tanggapan atas sentuhannya. Aku belum bisa merasakan adanya cinta dalam setiap sentuhannya.
            Ia kembali menulis, kuintip sedikit ternyata kertas tempat ia menulis sudah hampir penuh. Dengan matanya yang indah, ia kembali meminta perhatianku, “Aku merindukan dia.”
            “Wanita itu lagi?” tanggapku dengan cepat.
            Ada sesuatu yang bergerak dalam dadaku ketika ia mengucap kalimat singkat itu. Terdengar singkat memang, tapi entah mengapa rasanya aku harus butuh waktu lama agar tak merasa sakit dengan pernyataan yang seperti itu. Kali ini, aku merasa dianggap tak ada.
            “Aku selalu bilang padamu, setiap hari, berkali-kali, tak perlu lagi kamu merindukan seseorang yang bahkan tak pernah menghargai perasaanmu!”
            Senyumnya terlihat getir ketika aku berbicara dengan nada tinggi.
            “Apakah bagimu, ada kehilangan yang tak menyakitkan?”
            “Semua kehilangan pasti menyakitkan, kita sebagai manusia hanya bisa mengobati setiap luka, sendirian atau bersama seseorang yang baru. Itu semua pilihan yang kita tentukan sendiri.”
            Tanpa menatap wajahku, ia kembali mengajakku bicara, “Apakah obat pengering dari luka basah bernama kehilangan?”
            Aku berhenti menggambar. Kuketuk-ketukkan pensilku di atas kertas dan berpikir dengan serius, “Luka pasti kering, tapi bekasnya akan selalu ada. Keikhlasan dan kepasrahanlah yang membuat bekas luka tak lagi perih.”
            “Lantas, apa lagi?”
            “Membuka hati untuk seseorang yang baru!” seruku dengan nada bersemangat, dengan senyum singkat.
            “Ah, tapi bukankah semua butuh waktu? Termasuk juga soal cinta.”
            “Cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan?” aku mengangguk setuju, “Tapi, sampai kapan kaubutuh waktu? Sampai orang yang mencintaimu pada akhirnya memilih pergi, karena tak terlalu kuat diabaikan berkali-kali?”
            Aku tertawa dalam hati; menertawai diri sendiri.
            “Lihatlah, kamu melucu!” ia ikut tertawa sambil terus melanjutkan tulisannya, “Cinta memang butuh waktu dan waktu yang dibutuhkan cinta adalah teka-teki yang sulit diprediksi.”
            “Ah, kamu ini, semua hanya soal kesiapan hati.” bibirku meringis, mencoba menutupi hatiku yang mulai nyeri, “Jangan pernah takut dengan orang baru yang datang ke dalam hatimu, karena ia tak ingin banyak hal, selain membahagiakanmu.”
            “Aku juga berpikir begitu, tapi aku takut jika luka yang masih kubawa, akan menjadi luka baru di hati orang yang mencoba masuk ke dalam hatiku.”
            “Bagi orang yang ingin membahagiakanmu, tak akan pernah ada luka, meskipun cinta yang ia tunjukkan begitu lambat kaurasakan.”
            “Tak akan pernah ada luka?” tanyanya dengan wajah tak percaya, ia menatapku sekali lagi, dengan tatapan sangat serius, kali ini.
            “Ketika tulus mencintai seseorang, ia melakukan banyak hal karena ia mencintaimu, bukan karena ia memikirkan apa yang akan ia dapatkan ketika ia mencintaimu.”
            “Begitu manisnya cinta....”
            “Lebih manis lagi jika tak hanya satu orang yang berjuang untuk membahagiakan, harus saling membahagiakan.”
            Kalimatku membuat ia tersenyum lebar. Ia membubuhi tanda tangan untuk mengakhiri karya tulisnya di kertas. Aku menulis namaku dan tanggal pembuatan gambar ketika aku selesai menggoreskan goresan terakhir.
            Setelah karya tulisnya selesai dan karya gambarku selesai. Kebiasaan itu terulang, kami saling menutup mata sebelum dia melihat gambarku dan aku membaca tulisannya. Ketika karyanya ada di tanganku dan karyaku ada di tangannya, kami pada akhirnya membuka mata.
            Ia menikmati gambarku dengan senyum memesona, senyum yang paling kucintai dan kukagumi. Gambarku adalah sosoknya yang kujadikan sketsa di kertas A4. Aku tak melewatkan detail wajahnya yang indah. Hidungnya kugambar semirip mungkin, rahangnya yang tegas juga jambangnya yang menggemaskan, juga kugambar dengan goresan yang tegas. Ia mengucap terima kasih. Aku bisa menebak wajahnya yang terharu ketika karya itu kuberi judul Masa Depan.
            Giliran aku yang membaca karya tulisnya. Awalnya, kukira ia menulis tentangku, tapi ternyata aku salah. Ia menulis tentang seseorang yang bukan aku, seseorang yang hidup dalam masa lalu dan kenangannya. Hatiku teriris membaca setiap paragraf dalam tulisannya; tak ada aku di sana. Aku hanya membaca tentang sosok lain, sosok yang dulu ia ceritakan dengan wajah sedih, sosok yang begitu kubenci karena menyia-nyiakan pria yang kucintai saat ini. Karya tulis itu ia beri judul Masa Lalu.
            Aku mengulum bibirku. Usahaku masih terlalu dangkal baginya. Cinta yang kutunjukkan ternyata belum cukup menyentuh hatinya. Ia masih terpaut pada masa lalu ketika aku sudah menganggap sosoknya sebagai masa depan. Ia masih belum melupakan masa lalunya, ketika aku secara perlahan-lahan berusaha menyembuhkan lukanya yang perih.
            Aku belum berhasil seutuhnya.
            Ah, mungkin aku masih harus terus berjalan dan berjuang lebih dalam. Aku akan terus berjuang, sampai ia juga menganggapku masa depan, seperti aku selalu menganggap dia sebagai bagian masa depanku.
            Cinta butuh waktu. Butuh waktu untuk membuat ia segera melupakan masa lalunya kemudian mencintaiku. Butuh waktu untuk membuat ia memahami, ada cinta yang lebih masuk akal untuk ia percayai.
            Cinta memang butuh waktu.

*lagu Vierratale diciptakan oleh Kevin Aprilio

Tidak ada komentar:

Posting Komentar