Saya masih mengurusi luka yang tergores beberapa
minggu yang lalu. Luka yang saya obati sendiri, dengan jemari saya sendiri,
dengan perjuangan sendiri. Di hidup ini, harus ada yang datang dan pergi, agar saya
paham arti singgah dan menetap. Di hidup ini, harus ada yang tinggal dan
menghilang, agar saya tahu yang terbaik pastilah yang tetap tinggal dan tidak
akan menghilang; kecuali jika Tuhan mengizinkan "kehilangan".
Saya tak tahu bahwa kebodohan saya bisa begitu
berlipat ganda. Saya tak yakin jika ini semua saya lakukan karena saya
mencintai dia. Rasanya sangat sulit melupakan sosok yang saya harapkan tetap
tinggal tapi ternyata dia pergi. Sungguh sangat berat menghilangkan seseorang
yang saya kira akan menetap tapi pada akhirnya dia pergi. Saya, sebagai manusia
biasa, hanya bisa berharap pada setiap pertemuan, dan berdoa agar perpisahan
tak cepat-cepat merenggut dia dari genggaman saya. Sebagai manusia yang serba
terbatas, saya hanya mampu menjaga, saya tak tahu kapan ia akan pergi, kapan
dia akan meninggalkan saya.
Perkenalan yang saya pikir akan berujung bahagia
ternyata berakhir dengan siksa. Sekarang, saya tak lagi menangisi kehilangan,
saya hanya bingung mengapa pertemuan yang begitu singkat bisa memunculkan kesan
yang mendalam. Kadang, saya tak sadar, bahwa ketika bibir seseorang mengucap
"Hai" sebenarnya saat itu juga saya harus siap pada banyak risiko;
risiko kehilangan. Dunia ini penuh teka-teki, sebagai manusia yang mencoba
menjawab dengan perasaan dan otak yang terbatas, kadang saya hanya bisa
menangkap isyarat-isyarat kecil saja.
Dengan membawa sisa hati yang remuk, saya disadarkan
oleh kicauan Sudjiwo Tedjo, salah satu sosok yang saya kagumi. Jemarinya yang
ajaib menulis "Cinta tak perlu pengorbanan. Saat kamu mulai berasa
berkorban, saat itu juga cintamu mulai pudar." Ah, betapa kalimat ini
begitu menyentak saya. Memang, seringkali ketika berbuat untuk seseorang,
manusia menyebut hal itu adalah pengorbanan. Begitu juga ketika saya mencintai
dia. Saya tak tahu pasti apakah saya memang berkorban untuk dia atau sakit hati
saya terlalu besar, hingga pada akhirnya, setelah saya dan dia tak lagi
bersama, saya menyatakan diri bahwa saya telah berkorban banyak untuknya.
Apakah cinta saya pudar? Oh, betapa manusia berbeda dengan Tuhan, yang tak
pernah ungkit-ungkit pengorbananNya di kayu salib, yang tak pernah bilang
betapa sakitnya lambung yang ditusuk dengan tombak, dan betapa perihnya mahkota
duri yang tersemat di kepala.
Saya sedang merapikan hati saya yang patah. Mencoba
menyambungkan mozaik-mozaik yang terlepas karena kebodohan saya sendiri. Lalu,
saya berpikir sekali lagi, apakah benar cinta saya padanya telah pudar? Iya,
sekarang sudah pudar, karena pada akhirnya saya merasa berkorban untuknya. Pada
akhirnya, saya, yang sedang berusaha menghilangkan cinta, mengingat banyak
perbuatan, yang (tiba-tiba) saya sebut pengorbanan. Apakah cinta saya tak
tulus?
Pengorbanan biasanya dilakukan meskipun kamu
kesakitan. Tapi, ketika jatuh cinta; ketika kaumasih terbangun tengah malam
hanya untuk mendengar suaranya, saat kaumenunggunya menyelesaikan tugas,
manakala pesan singkatnya kaunanti— kautak pernah merasa disakiti. Semua
dilakukan atas dasar cinta, kaumencintainya maka kaubersedia menunggunya.
Kaumencintainya, maka kauizinkan dirimu terus menanti, meskipun pada akhirnya
dia tak menjadikanmu tujuan. Bukankah air matamu untuknya tetap kaupandang
sebagai keindahan, kaumenangis karena mencintainya, bukan karena kaumerasa
berkorban.
Lucu, ya, betapa kata pengorbanan yang sering kita
anggap sepele ternyata bisa begitu magis ketika digali. Saya sudah sering
disakiti begini. Sudah tahu rasanya dicintai, namun pada akhirnya dia memilih
pergi bersama teman saya sendiri. Sudah tahu rasanya diterbangkan tinggi, namun
tiba-tiba dihempaskan begitu saja. Lantas, walaupun kita seringkali merasa
disakiti, mengapa rasa sakit itu tak pernah membuat kita kapok untuk jatuh
cinta lagi?
Betapa kekuatan cinta bisa membebaskan kita dalam
banyak hal, melupakan "rasa sakit" yang seringkali diucapkan
orang-orang sekitar kita, ketika mereka menasehati; bahwa segalanya harus
diakhiri. Ya, cinta soal keikhlasan, tak pernah merasa berkorban. Cinta tak
butuh alasan, karena ketika pada akhirnya kautemukan alasan untuk mencintainya,
maka cintamu pudar.
Cinta tak butuh pengorbanan. Apapun yang kaulakukan
untuknya adalah dasar karena kauinginkan dia bahagia. Termasuk ketika
kauikhlaskan dia untuk sahabatmu. Termasuk ketika kaubiarkan ia pergi, namun
wirid dan ucap doamu masih mengiringinya. Pun, ketika kauantarkan dia ke masjid
untuk salat jumat, meskipun ibadah wajibmu kaulakukan pada hari Minggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar