Sabtu, 06 Juli 2013

Empat Minggu Setelah Kepergian Kamu


Aku menulis ini ketika aku sadar tak akan ada yang bisa dikembalikan seperti dulu lagi. Aku menulis ini ketika aku berpikir bahwa di sana kamu pasti telah menemukan seseorang yang baru. Seseorang yang bisa mencintaimu, memahamimu, dan mengerti keinginanmu lebih baik daripada aku. Rendahnya kepekaanku dan tingginya keegoisanku membuat kamu pergi dan menjauh. Seandainya, bisa kuputar kembali waktu, aku tidak akan membiarkanmu pergi dan akan menahanmu sampai Tuhan bosan melihat usahaku.

Aku mulai mencintaimu, mulai membiasakan diri akan kehadiranmu, dan mulai percaya yang kaurasakan juga adalah cinta. Setiap kausapa aku, setiap kaurangkul tubuhku, setiap tatap matamu menyentuh hangat tatap mataku, dan setiap genggaman jemarimu mengisi celah-celah kecil jemariku; aku percaya ini cinta. Dulu, aku tak takut mengartikan kata-katamu dan segala kalimat-kalimat manis itu adalah salah satu respon bahwa kaujuga punya perasaan yang sama. Beberapa minggu yang lalu, aku begitu percaya diri dan begitu memercayai bahwa kamu hanya memiliki aku; aku satu-satunya di hatimu. Namun, ternyata, aku pun bisa salah. Salah mengartikan isyarat yang kauberikan. Harusnya aku menyadari bahwa terlalu tinggi jika mengharapkan kamu berada di sisiku, terlalu mimpi jika menginginkan kamu menjadikanku pertama dalam hatimu, dan terlalu tolol menganggap perhatianmu yang ternyata tak hanya diberikan untukku.


Pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelarian tempat kamu meletakkan kecemasan. Aku hanyalah persinggahan, ketika kamu lelah untuk berjalan. Aku cuma sosok yang kaudatangi, ketika kaupikir kekasihmu tak mampu memahami keinginanmu. Betapa bodohnya aku bisa begitu mencintai seseorang yang bahkan meletakkan hatinya pada banyak orang— hati yang katanya hanya kamu berikan untukku. 

Dulu, aku tak ingin mendengar semua perkataan teman-temanku. Aku mencoba menutup telinga pada setiap bisikkan yang mengatakan kamu selalu melompat dari satu hubungan ke hubungan lain, berpindah dari satu pelukan ke pelukan lain, dan memberi hati pada banyak orang yang kaupikir bisa kaujadikan boneka kecintaanmu. Dulu, aku tak ingin percaya itu, dan kebodohanku semakin lengkap, ketika ternyata kamu memang seperti yang mereka bilang. Pengkhianat. Aktor paling cerdas berakting. Main hati.

Aku tak menyangka jika orang yang begitu halus membisikkan cinta, begitu manis mengucapkan rindu, dan begitu mudah berkata sayang adalah orang yang harusnya dari awal tidak kupercayai gerak-geriknya. Kamu tak tahu betapa aku begitu tergoda akan kehadiranmu. Kamu tak sadar betapa aku inginkan sebuah penyatuan, meskipun kita berbeda. Kamu tak paham betapa cinta mulai mengetuk pintu hatiku dan aku mulai mengizinkan kamu berdiam di sana.

Sungguh bodoh. Mengapa begitu mudah menjatuhkan air mata untuk kamu yang tak pernah menangisiku? Mengapa rindu begitu sialan karena menjadikanmu sosok yang paling sering kusebut dalam doa? Mengapa cinta begitu tak masuk akal ketika perkenalan singkat kita ternyata berujung pada hal yang tak kuduga? Kautak tahu betapa sulitnya melupakan perasaan yang sudah melekat, betapa tidak mudahnya menghilangkan kamu dari hati dan otakku. Cinta ini datang begitu mudah dan entah mengapa membenci begitu susah.

Kalau kauingin tahu seberapa dalam perasaanku, cinta ini seperti air laut yang enggan surut. Aku telah tenggelam, sementara kamu yang berada di pesisir pantai hanya bisa melambaikan tangan dan menertawakan kesesakanku. Apa yang bisa kauanggap lucu dari perasaan ini? Mengapa kaubegitu mudah menjadikan perasaanku sebagai candaan yang kaupikir bisa membuatku tertawa?

Sinaran pesonamu, membutakan segalaku. Begitu mudah aku terjebak bayang-bayang yang kupikir nyata. Begitu gampangnya aku terjerumus pada kesemuan yang tak pernah jadi kenyataan. Harus kularikan ke mana cinta yang makin dalam ini? Harus kubuang ke mana rindu yang tiba-tiba sering berujung air mata ini? Haruskah aku bilang padamu, dengan mata yang sembab, dengan rambut yang berantakan, dengan wajah yang begitu lelah; hanya untuk memintamu kembali?

Pertanyaan tentang perasaanku telah terjawab, walau tak kaujawab secara langsung. Kautak punya perasaan sedalam yang kuberikan, kautak merindukanku sedalam yang sering kulakukan, dan kautak ingin menjadikanku yang pertama. Ah, pernahkah kaurasakan menjadi sosok yang selalu diletakkan di nomor sekian? Yang tetap mencintai walau disakiti? Yang tetap mengabdi walau dilukai?

Seandainya semua bisa kembali seperti dulu lagi. Seandainya rangkul pelukmu masih sehangat yang kurasakan. Mungkin aku tak akan sesedih ini, tak akan seberantakan ini, dan tak akan segila ini.

Kalau kauingin pergi, maka pergilah. Tapi, berjanjilah padaku; aku adalah perempuan yang terakhir kausakiti. Setelah ini, pergilah pada ibumu dan cintai beliau dengan ketulusan, sehingga kaubisa belajar mencintai perempuan lain dengan ketulusan yang sama. Katakan padaku, kauakan menganggap kata sayang adalah kata yang sakral, sehingga tak akan kamu ucapkan hanya untuk menyakiti perasaan seorang perempuan. Berjanjilah padaku, setelah ini, kauakan benar-benar pergi, mencari perempuan baru untuk kauberi kebahagiaan; bukan tangisan. Katakan padaku, jika kautak mampu melakukan semua hal itu, aku bisa bantu kamu; tapi, kamu kembali dan mau kuajak saling memahami.

Suatu saat nanti, kita akan bertemu dengan kebahagiaan masing-masing. Kaumerangkul kekasih barumu dan memperkenalkannya padaku. Aku menggenggam erat jemari kekasihku yang berhasil menghapus mendung di hari-hariku. Lalu, kita menertawakan masa lalu, betapa dulu aku dan kamu pernah begitu lucu.

Kemudian, lukaku bisa kaujadikan materi stand up comedy-mu; tertawakan aku sepuasmu. Setelah itu, kumasukkan kaudalam sebuah tulisan; kusiksa kamu sampai jera, kubiarkan kaujadi tokoh yang tertawa lebih dulu tapi menangis sekencang-kencangnya di akhir cerita.

Terima kasih untuk tawa yang kautitipan pada setiap candaanmu di ujung malam. Sekarang, aku sadar, betapa sosok yang pernah membuatku tertawa paling kencang juga adalah pria yang bisa membuatku menangis paling kencang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar