Aku menulis ini ketika aku sadar tak akan ada yang
bisa dikembalikan seperti dulu lagi. Aku menulis ini ketika aku berpikir bahwa
di sana kamu pasti telah menemukan seseorang yang baru. Seseorang yang bisa
mencintaimu, memahamimu, dan mengerti keinginanmu lebih baik daripada aku.
Rendahnya kepekaanku dan tingginya keegoisanku membuat kamu pergi dan menjauh.
Seandainya, bisa kuputar kembali waktu, aku tidak akan membiarkanmu pergi dan
akan menahanmu sampai Tuhan bosan melihat usahaku.
Aku mulai mencintaimu, mulai membiasakan diri akan
kehadiranmu, dan mulai percaya yang kaurasakan juga adalah cinta. Setiap
kausapa aku, setiap kaurangkul tubuhku, setiap tatap matamu menyentuh hangat
tatap mataku, dan setiap genggaman jemarimu mengisi celah-celah kecil jemariku;
aku percaya ini cinta. Dulu, aku tak takut mengartikan kata-katamu dan segala
kalimat-kalimat manis itu adalah salah satu respon bahwa kaujuga punya perasaan
yang sama. Beberapa minggu yang lalu, aku begitu percaya diri dan begitu
memercayai bahwa kamu hanya memiliki aku; aku satu-satunya di hatimu. Namun,
ternyata, aku pun bisa salah. Salah mengartikan isyarat yang kauberikan.
Harusnya aku menyadari bahwa terlalu tinggi jika mengharapkan kamu berada di
sisiku, terlalu mimpi jika menginginkan kamu menjadikanku pertama dalam hatimu,
dan terlalu tolol menganggap perhatianmu yang ternyata tak hanya diberikan
untukku.
Pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelarian tempat
kamu meletakkan kecemasan. Aku hanyalah persinggahan, ketika kamu lelah untuk
berjalan. Aku cuma sosok yang kaudatangi, ketika kaupikir kekasihmu tak mampu
memahami keinginanmu. Betapa bodohnya aku bisa begitu mencintai seseorang yang
bahkan meletakkan hatinya pada banyak orang— hati yang katanya hanya kamu
berikan untukku.
Dulu, aku tak ingin mendengar semua perkataan
teman-temanku. Aku mencoba menutup telinga pada setiap bisikkan yang mengatakan
kamu selalu melompat dari satu hubungan ke hubungan lain, berpindah dari satu
pelukan ke pelukan lain, dan memberi hati pada banyak orang yang kaupikir bisa
kaujadikan boneka kecintaanmu. Dulu, aku tak ingin percaya itu, dan kebodohanku
semakin lengkap, ketika ternyata kamu memang seperti yang mereka bilang.
Pengkhianat. Aktor paling cerdas berakting. Main hati.
Aku tak menyangka jika orang yang begitu halus
membisikkan cinta, begitu manis mengucapkan rindu, dan begitu mudah berkata
sayang adalah orang yang harusnya dari awal tidak kupercayai gerak-geriknya.
Kamu tak tahu betapa aku begitu tergoda akan kehadiranmu. Kamu tak sadar betapa
aku inginkan sebuah penyatuan, meskipun kita berbeda. Kamu tak paham betapa
cinta mulai mengetuk pintu hatiku dan aku mulai mengizinkan kamu berdiam di
sana.
Sungguh bodoh. Mengapa begitu mudah menjatuhkan air
mata untuk kamu yang tak pernah menangisiku? Mengapa rindu begitu sialan karena
menjadikanmu sosok yang paling sering kusebut dalam doa? Mengapa cinta begitu
tak masuk akal ketika perkenalan singkat kita ternyata berujung pada hal yang
tak kuduga? Kautak tahu betapa sulitnya melupakan perasaan yang sudah melekat,
betapa tidak mudahnya menghilangkan kamu dari hati dan otakku. Cinta ini datang
begitu mudah dan entah mengapa membenci begitu susah.
Kalau kauingin tahu seberapa dalam perasaanku, cinta
ini seperti air laut yang enggan surut. Aku telah tenggelam, sementara kamu
yang berada di pesisir pantai hanya bisa melambaikan tangan dan menertawakan
kesesakanku. Apa yang bisa kauanggap lucu dari perasaan ini? Mengapa kaubegitu
mudah menjadikan perasaanku sebagai candaan yang kaupikir bisa membuatku
tertawa?
Sinaran pesonamu, membutakan segalaku. Begitu mudah
aku terjebak bayang-bayang yang kupikir nyata. Begitu gampangnya aku terjerumus
pada kesemuan yang tak pernah jadi kenyataan. Harus kularikan ke mana cinta
yang makin dalam ini? Harus kubuang ke mana rindu yang tiba-tiba sering
berujung air mata ini? Haruskah aku bilang padamu, dengan mata yang sembab,
dengan rambut yang berantakan, dengan wajah yang begitu lelah; hanya untuk
memintamu kembali?
Pertanyaan tentang perasaanku telah terjawab, walau
tak kaujawab secara langsung. Kautak punya perasaan sedalam yang kuberikan,
kautak merindukanku sedalam yang sering kulakukan, dan kautak ingin
menjadikanku yang pertama. Ah, pernahkah kaurasakan menjadi sosok yang selalu
diletakkan di nomor sekian? Yang tetap mencintai walau disakiti? Yang tetap
mengabdi walau dilukai?
Seandainya semua bisa kembali seperti dulu lagi.
Seandainya rangkul pelukmu masih sehangat yang kurasakan. Mungkin aku tak akan
sesedih ini, tak akan seberantakan ini, dan tak akan segila ini.
Kalau kauingin pergi, maka pergilah. Tapi, berjanjilah
padaku; aku adalah perempuan yang terakhir kausakiti. Setelah ini, pergilah
pada ibumu dan cintai beliau dengan ketulusan, sehingga kaubisa belajar
mencintai perempuan lain dengan ketulusan yang sama. Katakan padaku, kauakan
menganggap kata sayang adalah kata yang sakral, sehingga tak akan kamu ucapkan
hanya untuk menyakiti perasaan seorang perempuan. Berjanjilah padaku, setelah
ini, kauakan benar-benar pergi, mencari perempuan baru untuk kauberi
kebahagiaan; bukan tangisan. Katakan padaku, jika kautak mampu melakukan semua
hal itu, aku bisa bantu kamu; tapi, kamu kembali dan mau kuajak saling
memahami.
Suatu saat nanti, kita akan bertemu dengan kebahagiaan
masing-masing. Kaumerangkul kekasih barumu dan memperkenalkannya padaku. Aku
menggenggam erat jemari kekasihku yang berhasil menghapus mendung di
hari-hariku. Lalu, kita menertawakan masa lalu, betapa dulu aku dan kamu pernah
begitu lucu.
Kemudian, lukaku bisa kaujadikan materi stand up
comedy-mu; tertawakan aku sepuasmu. Setelah itu, kumasukkan kaudalam sebuah
tulisan; kusiksa kamu sampai jera, kubiarkan kaujadi tokoh yang tertawa lebih
dulu tapi menangis sekencang-kencangnya di akhir cerita.
Terima kasih untuk tawa yang kautitipan pada setiap
candaanmu di ujung malam. Sekarang, aku sadar, betapa sosok yang pernah
membuatku tertawa paling kencang juga adalah pria yang bisa membuatku menangis
paling kencang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar